PelangiAsean.com Partner Sejati Untuk Permainan Kartu Anda , Mudah Menangnya Banjir Hadiahnya :) I STATUS BANK : | BCA - ONLINE | MANDIRI - ONLINE | BNI - ONLINE | BRI - ONLINE | DANAMON - ONLINE | PERMATA - ONLINE | PANIN - ONLINE | Untuk LOGIN SITE Di HandPhone menggunakan Link : pelangikiukiu.net dan juga temanpelangi.com
LightBlog

Thursday, April 25, 2019

FILOSOFI KOPI (CHAPTER 1)

cover buku Filosofi Kopi
Filosofi kopi (1996)

Kopi... k-o-p-i.
Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila : Ben... B-e-n.

Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana-mana demi mendapat kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, Londo, New York, bahkan Moskow.

Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia namun kopi dari barista-barista caliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, macchiato, dan lain-lain. sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.

Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.

Sekarang, Boleh dibilang Ben salah satu peramu kopi atau barista terandal di Jakarta. Dan ia menikmati setiao detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi.
Dengan seleksi kopi yang kami miliki, kenbayakan pelanggan kedai memang penggemar kopi sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar mengagumi karena mereka mengerti.

Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar,  poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuah jendela kaca besar, bertuliskan nama kedapi kopi kami dalam huruf-huruf dicat yang mengangatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda.

KEDAI KOPI
B E N & J O D Y

jody... J-o-d-y. kau dapat menemuinya di tempat yang kurang menarik,  yakni di belakang mesin kasir atau di pokolan bersama kalkulator. Sementara di pusat  orbir sana, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari bersama mesin, deretan kaleng besar,  kocokan, cangkir, gelas, dan segala maacm perkakas di meja panjang itu.

Tempat kami tidak besar dan sederhana dibandingkan kafe-kafe lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memilih setiap kursi dan meja yang semuanya berbeda dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat ham per barang. Ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengna instingnya, apakah furniture itu cukup "sejiwa" dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan gelas, cangkir, bush kettle, poci, dan lain-lain. tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas ben terlebih dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi. Pesta minum kopi, kecil dan akrab dengan Ben sebagai tuan rumah.

Tapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang diciptakan Ben. Ia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filose untuk setiap jenis ramuan kopi.

'itu yang membuat saya mencintai minuman ini. kopi itu sangat berkarakter. Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.

'Seperti pilihan anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan.' Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. 'Anda tahu, Cappuccino ini kopi paling genit?'

Perempuan itu tertawa kecil.
'berbeda dengan cafe latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat mungkin.'

'Oh, ya?'

'Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. Sambil menjelaskan, dengan terampil Ben membentuk buih cappuccino yang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.

'Bagaimana dengan kopi tubruk?' seseorang bertanya iseng.

'Lugu, sederhana,  tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam.' Ben menjawab dengan cepat. 'Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai anda mencium aromanya.' bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk,' silahkan, komplimen untuk anda.'

Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.'

'Tunggu dulu!' tahan Ben. 'Kedahnya kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hidup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung kilimanjaro.'

Orang itu mengembangkan cuping hidung, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Matanya itu tampak berbinar puas.

Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk sama puas. Sekejap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.

Ketika kedai tutup dan semua pulang, tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya kesempatan kami untuk akhirnya minum kopi.

'Tidak terasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih.' Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.

'Sekian banyak manusia sudah datang dan pergi...' nada bcara ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya. 'dan kamu tahu apa kesimpulanku?'

'Kita akan kaya raya?'

'Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada disini.'

'Di dalam daftar minuman ini?' aku menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.

Mantap, Ben mengangguk,
'Bagaimana kamu bisa menggondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman ini?'aku menatapnya geli, 'Ben...Ben...'

'Jody... Jody...' ia malah ikutan geleng-geleng. 'Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menemukan dirinya disini. 'Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat didepan hidungku.

Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu.

Sudah pembicaraan kami malam ini, Ben melakukan berbagai terobosan baru.

Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi :

Filosofi kopi
Temukan diri anda disini


Nama kedai kami berikut slogannya ternyata menjadi sangat popular. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti, membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas sekaligus berharap-harap cemas, seperti memasuk tendah peramal. Dan tanpa perlu bola kristal. Omset kedai kami meningkat pesat.

Kini, bukan para kopi mania saja yang datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekalipun ada yang berkunjung. Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi kopi demi rasa ingin tahu. ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang mereka pesan, tapi ujungujungnya menjadi langganan tetap juga. 

Tak sampai disitu, Ben juga membuat karu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunjung. Kartu bertuliskan. 'KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:...' dan ketengan filosifisnya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari. kadang-kadang aku mendengar mereka mulai menyebut kedapi kopi kami dengan panggilana sayang bersi masing-masing, fil-kopi, so-pi, Filo, FK, dan lain-lain.

Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekedar persinggahan tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.

Dan yang kupikir sudah luar biasa ternyata belum apa-apa. Malam itu ben mengungkapkan padaku, saat kami menghirup kopi panas pertama kali, larut malam di kursi bar.

'Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.'

Aku yang sedang sibuk berhitung dengan mesin hitung, hanya tergerak untuk mengangkat alis, 'Oh, ya?'. Tantangan apa?'

Ben menggeser mesin hitung itu jauh ke ujung meja.

'Dengar dulu baik-baik..'
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.

Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben, tepatnya, mengumumkan keras-keras: 'Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! ada tidak? kalau ada saya pesan satu cangkir besar.'

Ben menjawab sipan, 'Silahkan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.'

Pria itu menggeleng, 'Barusan sudah saya baca. Tidak ada yang artinya itu.'

'Yang mendekati, mungkin?'

Ucapan Ben justru memancingnya tertawa. 'Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istillah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.'

Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.

'Berarti anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan.' pri a itu menunjuk kaca jendela. 'Saya ke mari ingin menemukan diri...'. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importer mobil, istrinya seorang artis cantik yang sedang di pucak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40 dia sudah menjadi salah satu pembisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah ekonomi terkenal.

Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.

Ben lanjut bercerita tentang pria itu untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin.  'Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napa saking takjubnya, dan Cuma bisa berkata: Hidup ini sempurna.' Pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan sebesar 50 juta.

seketika mataku terbeliak. ini baru menarik. '50 juta?!'

'Dan aku menerima tantangannya.'

'sebentar, ini bukan taruhan, kan?'

'Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku dapat uangnya, kalau tidak, ya sudah. tanpa resiko.'

'Kalau begitu, buat apa pikir-pikir lagi, sikaat! seruku berkobar-kobar. terbayang pengembangan apa saja yang bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.

Ben hanya mengganguk kecil, keningnya berkerut. Aku tahu pasti, bukan uang 50 juta yang menarik minatnya.

'Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!' sekonyong-konyong Ben berdiri meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum seteguk. Entah apa yang dimaksud 'Kerja keras'.

Belakangan aku baru tahu maksudnya. Tak ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung teaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ad adi laboratorium kimia daripada di kedai kopi.

Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam membundari matanya akibat terlalu banyak begadangm tubuhnya menipis karena sering lupa makan. Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.

Minggu-Minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.

Aku tiba sambil bersungut-sungut. 'Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok?'

Ben tidak menjawab. namun kutangkap kilau mata yang menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.

Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di dalamnya. 'Coba cium...'

Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.

'Coba minum...'

Dengan sedikit ragu aku menyeruput. Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm.. ini... 'Ben, Kopi ini...' Aku mengangkat wajahku. 'SEMPURNA!'

Kujabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak tertawa.

'Ini kopi yang paling enak@'Seruku lagi, takjub.

'... di dunia,' sambung Ben. 'Aku sudah keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. Akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya 'SEMPURNA'.

Aku mengangguk setuju. 'Mau diberi nama apa ramuan ini?'

Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. 'BEN's PERFECTO.' tandasnya mantap.

Pagi-pagi sekali ben menelepon penantangnya. Tepat pukul empat sore, orang itu datang lengkap bersama pacarnya. Siapa pun aku mau bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia masuk kedai, auranya meyuarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak butuh lagi aura untuk menangkan kecantikannya.

Disaksikan semua pelanggan yang sengaja kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto pertamanya dengan raut tegang.

Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan. 'Hidup ini sempurna.'

Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak.

Pria itu mengeluarkan selembar cek. 'Selama. Kopi ini perfect. Sempurna.'

Sebagai ganti, Ben memberikan kartu. Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan :

Kopi yang anda minum hari ini :
Ben's Perfecto

artinya:
Sukses adalah
Wujud Kesempurnaan Hidup

Pria itu tertawa lebar membacanya. 'Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini, 'ujarnya, lalu memasukkan kartu itu ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.

Sore itu berlalu dengan sempurna. kami membagikan sampel Ben's Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu mendapat sambutan yang luar biasa.

Demikian pula dengan hari-hari selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben's Perfecto, keuntungan kami meningkat, bahkan berlipat ganda.

Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain,  kepuasan yang didapat dari Ben's Perfecto memang tak bisa di dapat dimana pun. Kesohoran minuman itu juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang ketika mencobanya.

Tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi.

Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan setia, atau sekadar menontonin ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramuan kopi spektakuler Ben.

'First timer,' Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria setengah baya masuk.

Dengan ekstra ramah aku langsung menyambut. 'Selamat pagi, pak.' Sapaku serayu membungkukkan badan.

'Selamat pagi.' Tampak terkesan dengan sambutanku, ia kemudian duduk di salah satu bangku bar "Bisa pesan kopinya satu, Dik?"

'Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.'

Dia ikut tersenyum. Agar canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu itu tidak biasa minum kopi di kafe.

'Silahkan, Pak. Mau pesan yang mana?' Aku menyodorkan daftar minuman.

Bapak itu hanya memandang sekilas, membaca pun tidak.

'Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak,' Jawabnya kalem.

Dengan cepat aku berseru pada Ben, 'Ben! Perfecto satu!'

Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto.

'Nah yang ini bukan sekadar enak, Pak.  Tapi ini yang paliiinngg... enak! Nomor satu di dunia,' Aku berpromosi.

'Bapak memang hobi minum kopi?' tanya Ben ramah.

Pertanyaan rutinnya pada setiap pengunjung baru.

'Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, Kopi disini enak sekali.' Tuturnya bersemangat dalam logat jawab kental.

Setelah meminum setegak, bapak itu  meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.

Ben segera bertanya antusian, 'Bagaimana, Pak?'

Bapak itu mendongak apanya'?

'Ya, kopinya.'
Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk.

'Lumayan,' jawabnya singkat lalu terus membaca.


'Lumayan bagaimana?' Ben mulai terusik.

tunggu part ke 2 nya guys

No comments:

Post a Comment