Tahukah kau?
Aku masih mencintaimu,
amat sangat mencintaimu...
Pedulikah kau?
Aku yang terjaga setiap malam karenamu...
memikirkanmu dan masa lalu kita.
Namun, tak sanggup kukatakan semua itu padamu...
Mengapa semua ini terjadi?
Adakah salahku padamu tak termaafkan?
Jangan pergi...
kembalilah,
Karena aku
terus menunggumu,
dan akan selalu begitu...
Katakan 'tidak' pada mereka,
Sebab kau...
adalah milikku...
***
"Kita... sampai di sini saja, ya. Kau tahu, kita sudah tidak cocok lagi. Akupun sedih,
tapi apa boleh buat, 'kan? Sudah ya. Bye."
Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Bagai laut yang tak pernah mengering, membawa kembali kenangan-kenangan. Membawa segala sesuatu yang pernah terjadi diantara aku dengan dirinya.
Hubungan yang aku pertahankan dengan begitu kerasnya, berakhir dalam empat setengah bulan. Apakah karena usahaku mempertahankan hubunganku dengannya mengedur seiring berjalannya waktu? Tidak. Apa karena rasa sayangku padanya memudar? Sama sekali bukan itu.
Lalu apa salahku sampai ia mengakhiri hubungan kami? Aku tak tahu. Aku yakin bukan karena 'kita sudah tak cocok lagi'. Pasti ada alasan lain. Tapi aku tak pernah berani mencari tahu. Aku terlalu takut akan kenyataan yang menyakitkan, lebih baik tenggelam dalama ketidaktahuan dibandingkan mengetahui sesuatu yang akan merenggut semangatku untuk menjalani hari. Aku tahu aku pengecut, tapi... aku benar-benar tidak bisa.
Kupikir, dialah benang merahku. Seorang laki-laki yang berdiri di garis hidupku untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Satu-satunya yang disediakan tuhan untukku. Kenapa semuanya berakhir di tengah-tengah dengan begini tragis?
Perjuanganku untuk mempertahankan hubunganku dengannya tidaklah ringan. Banyak batu-batu besar disana-sini, dan aku harus melompatinya... sendirian. Tidakkah ini menyedihkan?
Aku selalu mengalah saat 'penyakit mingguan' Reinhard kambuh. Tidak, ia tidak mengidap penyakit berbahaya yang mematikan layaknya kanker atau hepatitis dan sebagainya, tapi penyakitnya berbahaya bagi kesehatan mentalku. Ya, penyakit 'keegoisan tingkat tinggi' nya itu bisa membuatku gila. Tapi aku selalu berusaha bersabar dan mengatasi semuanya sendirian terbayang seberap berat usahaku, kan?
Belum lagi saat sahabat-sahabatku, Aelke dan Variska, yang tidak pernah menyutujui hubunganku dengan Reinhard.
"Apa sih bagusnya Reinhard, Riss? Cowok tipe-tipe begitu mah banyak kali di pasar ayam. "Variskan yang jelas-jelas tidak pernah menyetujui hubunganku berkata begitu.
"Dia baik kok, tampang lumayan, otak standar. Duit? Cukup kok. Hehehe." Aku berusaha membela.
"Tapi dia playboy, lo bukannya nggak suka cowok playboy, Ris?" Aelke mengingatkan. Entah sudah berapa ratus kali aku mendengarnya.
"Kalian belum kenal dia, 'kan? Terserah kalian deh, menurut gue dia baik, kok." Entah berapa ratus kali juga aku membuat mereka berdua mendengar kalimatku.
"Terserah lo, deh!"kata mereka berdua mendengus kesal dengan tampang cemberut. Aku tahu mereka bosan mendengar kalimatku yang satu itu, akupun bosan diceramahi mereka hampir setiap kali aku membahas Reinhard di depan mereka. Apa yang salah dari menyayangi seseorang?
Aku tak pernah bisa melepaskannya dari pikiranku. sedetik saja aku punya waktu bebas, pikiran tentangnya segera merasuk dalam pikiranku. Semenit saja aku merenung, segala sesuatu tentangnya langsung terlintas dalam pikiranku, yang membuatku makin tenggelam dalam sesuatu yang disebut çinta'.
Ya, aku tak akan pernah bisa melupakannya, dan akan selalu mencintainnya.
Dialah pertama dan terakhirku.
Itulah prinsip yang selalu aku pegang dan laksanakan, bahkan sampai sekarang.
tapi ternyata, baginya... aku hanyalah satu dari mantan-mantan kekasihnya.
Sakit, saat hati ini terus memanggil namanya. Gelisah, saat mata ini terus mencari keberadaannya. Perih, saata melihat senyumnya yang bukan untukku. Entah sudah berapa banyak airmataku yang kupersembahkan hanya untuknya. Tapi baginya, mungkin itu tidak cukup. Ya, tidak akan pernah cukup.
"Aku janji, kamu pacar terakhir aku. Aku bakal jagain kamu, lindungin kamu, sayangin kamu. Selamanya. Sampai rambut kita berdua memutih dan napas kita putus barengan. Kamu mau 'kan bersama aku sampai saat itu tiba?"
"Woi Clarissa! Bengong aja! bengongin Reinhard lo ya? Udah sih, cowok playboy gitu masih lo harepin!"Aelke menyikut lenganku agar aku tersadar dari lamunanku.
Saat ini sedang jam kosong, yang biasanya kugunakan untuk mengobrol, mendengarkan olagu, atau melakukan ritual Ãngatlah Reinhardn tanpa henti'. Ritual yang kata Aelke dan Variska adalah sesuatu yang bodoh dan tak pernah bisa lepas dari hidupku.
"Tau tuh, apa sih bagusnya Reinhard? Cowok pasar ayam kayak gitu..." Variska si pecinta ayam memulai kalimatnya yang sudah kudengar untuk ke 991293921 kalinya.
"Eh Riss, lo mau tau nggak? Si Reinhard lagi deket sama cewek loh. Mau liat fotonya nggak? Virion, sahabat laki-lakiku yang duduk sebangku denganku ikut mengambil andil dalam pembicaraan tentang Reinhard, yang menjadi topik obrolan sehari-hariku.
Eh? Apa? Apa katanya?
"Clarissaaaa, lo mau lihat nggakk?" Virion mengulangi kata-katanya.
"Ng-nggak. Buat apa gue liat?m nggak ada gunanya juga deh."
Waktuku serasa terhenti sejenak saat mendengar kata-kata Virion. Apa ini? Bukankah ia telah berjanji? Bukankah ia akan selalu bersamaku? Bukankah dia telah ditakdirkan untukku?
Beribu pertanyaan terlintas dalam benakku dalam sekejap. Tak ada satupun materi pelajaran yang masuk ke dalam otakku setelah Virion mengucapkan kata itu padaku.
Kenapa aku harus menyayanginya dalam derita hati sementara ia disana bersenang-senang dan hidup bahagia dengan perempuan lain?
Sakit. Hatiku hancur bagaikan kertas yang dirobek. Pedih bagaikan tertusuk ribuan jarum.
Kemana janjinya yang dulu ia ucapkan ketika kami masih bersama? Apakah itu hanya janji palsu yang sengaja ia umbar demi kebahagiaan semu yang sementara?
Aku terus berpikir dan berpikir. Ingin sekali aku menangis, tapi tak mau.
Kutahan banjiran air di pepuluk di mataku yang akan segera menjadi air mata jika meluncur ke pipi.
Aku rapuh, Aku tak berdaya. Kenapa harus aku? kenapa tidak orang lain saja yang mengalami ini? Tak bisakah aku memiliki cinta yang selalu tersenyum, cinta yang tidak menyakiti?
Sebenarnya, aku sangat ingin melihat foto perempuan itu. Tapi lagi-lagi, aku hanya bisa mematung dalam diam. mendegar hatiku yang menjerit karena terhempas oleh sakitnya cinta. Cinta pada Reinhard.
Aku hanya bisa berharap. harapan yang tidak pasti, kalau Reinhard, akan menjaga dirinya untukku. Untuk menjadi milikku pada akhirnya. Walau aku ragu, kalau itu akan menjadi kenyataan... tapi, yang bisa kulakukan sekarang... hanyalah berharap.
**
No comments:
Post a Comment